Sering kita menundukkan kepala karena sedih dan malu atas tragedy kemanusiaan sebagai akibat pertalutang (elit) politik 1965. Jutaan orang telah menjada korban pembunuhan, penyiksaan, pemenjaraan, dan peminggiran. Karen alas an politik pula mereka tidak diakui, apalagi dipulihkan kemanusiaannya. Menuliskan kesaksian tragedi itu menjadi repertoar adalah untuk melawan penumpulan nurani bangsa ini.